SOLIOLOGI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Dengan
menyebarnya kaum muslimin di berbagai wilayah, dengan terbentuknya kaum
muslimin sebagai masyarakat sosial, maka secara otomatis kajian-kajian
ke-Islaman, khususnya tentang masyarakat kaum muslimin layak untuk
didekati dengan pendekatan sosiologis. Karena
sosiologi itu sendiri merupakan ilmu yang berkenaan dengan masyarakat
sosial, hubungan yang terjadi di dalamnya dan pengaruhnya kepada
struktur masyarakat tersebut.
Islam
memang tidak akan dapat dipahami dengan universal dan humanis tanpa
mendekatinya dengan pendekatan sosiologis. Beberapa gejala dalam
masyarakat kaum muslimin, selain juga bisa didekati dengan beberapa
pendekatan lain, tentu menyediakan ruang untuk dikaji dengan pendekatan
sosiologis. Karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dapat
dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan
sosiologi, di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu instrumen
dalam memahami ajaran agama.
Dalam
makalah ini akan diuraikan tentang sosiologi sebagai pendekatan
kajian-kajian ke-Islaman yang dapat melahirkan studi-studi ke-Islaman
yang lebih dinamis terhadap gejala-gejala sosial yang terjadi di
masyarakat.
Beberapa
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang pengertian
sosiologi, Metode pendekatan sosiologi, Pendekatan sosiologis dalam
tradisi intelektual Islam, Signifikansi pendekatan sosiologis dalam studi Islam, Agama sebagai fenomena sosiologis, dan Karya utama dalam pendekatan sosiologis dalam studi Islam.
PEMBAHASAN
PENDEKATAN SOSIOLOGI DALAM STUDI ISLAM
1. Pengertian Sosiologi
Secara
etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa Latin dari kata “socius”
yang berarti teman dan “logos” yang berarti berkata atau berbicara. Jadi
sosiologi artinya berbicara tentang manusia yang berteman atau
bermasyarakat.
Secara
terminologi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan
proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial. Adapun
objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan
antara manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia dalam
masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah meningkatakan daya atau kemampuan
manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya.
Sosiologi
adalah kajian ilmiah tentang kehidupan sosial manusia yang berusaha
mencari tahu tentang hakekat dan sebab-sebab dari berbagai pola pikiran
dan tindakan manusia yang teratur dapat berulang. Berbeda
dengan psikologi yang memusatkan perhatiannya pada karakteristik
pikiran dan tindakan orang per-orangan, sosiologi hanya tertarik kepada
pikiran dan tindakan yang dimunculkan seseorang sebagai anggota suatu
kolompok atau masyarakat.
Namun
perlu diingat bahwa sosiologi adalah disiplin ilmu yang luas dan
mencakup banyak hal, dan ada banyak jenis sosiologi yang mempelajari
sesuatu yang berbeda dengan tujuan berbeda-beda
Selain
itu, sosiologi juga merupakan sebagai studi sistematis mengenai keadaan
kelompok dan masyarakat serta gejala-gejalanya yang saling berhubungan
dan saling mempengaruhi setiap tindakan. Sosiologi tidak membahas
individu, akan tetapi lebih kepada gejala-gejala sosial yang berdasar
pada penjelasan sejarah, peristiwa dan kehidupan nyata.
Dalam
hal ini Maijor Polak juga mensinyalir bahwa sosiologi sebagai ilmu
pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan, yakni antar
hubungan di antara manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan
kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formil maupun materil, baik
statis maupun dinamis.
2. Metode Pendekatan Sosiologi
Untuk
menghasilkan suatu teori, maka kajian-kajian ilmiah harus memiliki
pendekatan-pendekatan, demikian halnya dengan teori-teori sosiologi. Ada tiga pendekatan utama sosiologi, yaitu:
A. Pendekatan struktural-fungsional.
Ini
merupakan interdisiplin ilmu antara pendekatan strukturalisme dan
fungsionalisme. Pendekatan strukturalisme akan mengkaji struktur
kehidupan masyarakat dengan mengabaikan fungsi dari setiap struktur
tersebut. Pendekatan ini hanya melihat masyarakat sebagai sebuah
komponen yang memiliki struktur pembangun di dalamnya. Sedangkan
fungsionalisme lebih cenderung kepada kajian bahwa setiap komponen dalam
masyarakat mempunyai fungsi dan peran di dalam masyarakat. Kajian ini
mengutamakan fungsi tersebut dan lebih mengabaikan struktur, bahwa
setiap komponen harus berfungsi selayaknya, jika tidak maka akan terjadi
kepincangan dalam kehidupan sosial.
Maka
kombinasi antara strukturalisme dan fungsionalisme ini memandang bahwa
masyarkat tidak hanya sebagai kesatuan struktur saja atau fungsi saja,
tapi cenderung untuk mengkaji masyarakat baik dari strukturnya maupun
fungsinya dan hubungan di antara keduanya.
Pendekatan
struktural-fungsional terkenal pada akhir 1930-an, dan mengandung
pandangan makroskopis terhadap masyarakat. Walaupun pendekatan ini
bersumber pada sosiolog-sosiolog Eropa seperti Max Webber, Emile
Durkheim, Vill Predo Hareto, dan beberapa antropog sosial Inggris, namun
yang pertama yang mengemukakan rumusan sistematis mengenai teori ini
adalah Halcot Parsons, dari Harvard. Teori ini kemudian dikembangkan
oleh para mahasiswa Parson, dan para murid mahasiswa tersebut, terutama
di Amerika.
B. Pendekatan Konflik.
Adapun
pendekatan konflik merupakan pendekatan alternatif paling menonjol saat
ini terhadap pendekatan struktural-fungsional sosial makro. Karl Marx
(1818-1883) adalah tokoh yang sangat terkenal sebagai pencetus gerakan
sosialis internasional. Meskipun sebagian besar tulisannya ia tujukan
untuk mengembangkan sayap gerakan ini, tetapi banyak asumsinya yang
dalam pengertian modern diakui sebagai teori sosiologis.Namun
para pengikut sosiologi Marx menggunakan pedoman-pedoman sosiologis dan
ideologi Marx secara sangat eksplisit, sedangkan praktek ideologis
hanya secara implisit terdapat dalam tulisan-tulisan para penganut
pendekatan sturuktural-fungsional.
Ia
menganggap cara produksi di sepanjang sejarah manusia secara sedikian
rupa, sehingga sampai-sampai ia berpandangan sumber daya ekonomi
dikuasai oleh segelintir orang tertentu, sementara golongan masyarakat
lainnya ditakdirkan untuk bekerja untuk mereka dan tetap bergantung pada
kemurahan hati segelintir penguasa.
Bertolak
dari memandang sejarah manusia dengan cara seperti ini, Marx mengajukan
teori sosialismenya yakni sautu solusi final agar seluruh sumber daya
dapat dimiliki oleh semua orang. Revolusi-revolusi lanjutan tidak lagi
diperlukan karena idealnya tidak akan adala lagi kelaparan,peng
eksploitasian dan konflik.
C. Pendekatan Interaksionisme-Simbolis.
Pendekatan
ini juga merupakan pendekatan yang menggunakan interdisiplin, yakni
interaksionisme yakni sebuah pendekatan yang mengkaji hubungan-hubungan
yang terjadi di masyarakat.Kemudian
pendekatan ini digabungkan dengan pendekatan simbolisme dengan asumsi
bahwa semua interaksi dalam masyarakat hanya akan terlihat dengan jelas
bila dihubungkan dengan simbol-simbol yang berlaku di kalangan mereka.
Sedangkan
pendekatan interaksionisme-simbolis merupakan sebuah perspektif mikro
dalam sosiologi yang barang kali sangat spekulatif pada tahapan
analisanya sekarang ini. Tetapi pendekatan ini mengandung sedikit sekali
prasangkan ideologis, walaupun meminjam banyak dari lingkungan Barat
tempat dibinanya pendekatan itu.
Sebagaimana
dipesankan oleh namanya, interaksionisme-simbolis lebih sering disebut
sebagai pendekatan interaksionis saja-bertolak dari interaksi sosial
pada tingkat paling minimal. Dari tingkat mikro ini, tidak seperti jenis
lain psikologi sosial, ia diharapkan memperluas cakupan analisisnya
guna menangkap keseluruhan masyarakat sebagai penentu proses dari banyak
interaksi. Manusia dipandang mempelajari situasi-situasi yang bisa
serasi atau bisa pula menyimpang, mempelajari situasi-situasi
transaksi-trasnsaksi politis dan ekonomis, situasi-situasi di dalam dan
diluar keluarga, situasi-situasi permainan dan pendidikan,
situasi-situasi organisasi, formal dan informal dan seterusnya.
Ketiga
pendekatan sosiologi (struktural-fungsional, konflik dan
intraksionisme-simbolis) yang telah disebutkan pada bagian terdahulu,
adalah pendekatan sosiologi kontemporer yang dibina dengan objek
masyarakat barat, karenanya pendekatan tersebut tidak bersifat
universal. Pemikiran barat bukan saja jauh dari dan kerap kali
bertentangan dengan persepsi-persepsi lokal dalam masyarakat-masyarakat
non-Barat, tetapi juga tidak mampu menjelaskan problem yang dewasa ini
dihadapi oleh masyarakat-masyarakat ini.
Tidak
sedikit contoh tentang kelemahan dalam sosiologi ini. Misalnya teori
tentang kejahatan dan pelanggaran serta penyimpangan yang didasarkan
pada pengalaman-pengalaman dan penelitian-penelitian di pusat kota New
York dan Chicago, tidak menjelaskan masalah kejahatan dan penyimpangan
yang ada di Uni Soviet, Fakistan, Mesir, Indonesia dan
masyarakat-masyarakat serupa lainnya.
Upaya-upaya
sosialisasi modern untuk menjelaskan stratifikasi sosial, perkawinan
dan keluarga, juga dapat dikatakan tidak memadai untuk menerangkan
masyarakat-masyarakat non-Barat. Dan jika diperhatikan lebih dekat, akan
ditemukan banyak perbedaan dalam pendekatan-pendekatan yang dianut
dikalangan sosiolog-sosiolog satu Negara Barat dan Negara Barat lainnya.
Memang
telah ada upaya-upaya untuk meredakan perbedaan-perbedaan sosiologis
antara satu Negara Barat dengan Negara Barat lainnya.
Perbedaan-perbedaan ini bisa dihilangkan dengan interaksi yang lebih
akrab antara para sosiolog Eropa dan Amerika, tetapi akan tetap
dirasakan adanya kenyataan yang janggal bahwa pendekatan-pendekatan
sosiologis Barat didasarkan pada asumsi-asumsi dan penelitian-penelitian
yang asing bagi realitas sosial di masyarakat non-Barat.
Bila
dialihkan perhatian, dari masyarakat Barat pada umumnya, ke masyarakat
Muslim atau wilayah yang berkebudayaan Islam pada khususnya, maka akan
terlihat bahwa studi sistematis mengenai Islam merupakan suatu bidang
yang benar-benar tidak diperdulikan dalam sosiologi. Nyaris tidak satu
pun studi sosiologis tentang Islam dan masyarakat-masyarakat Muslim.
3. Pendekatan Sosiologis Dalam Tradisi Intelektual Islam
Ibnu Khaldun telah menghimpun sosiologinya dalam karya monumentalnya Muqaddimah. Cakrawala
pikiran-pikiran Ibnu Khaldun sangat luas. Dia dapat memahami masyarakat
dengan segala totalitasnya, dan dia menunjukkan segala fenomena untuk
bahan studinya. Dia juga mencoba untuk memahami gejala-gejala itu dan
menjelaskan hubungan kausalitas. Dibawah sorotan sinar sejarah, kemudian
ia mensistematiskan proses peristiwa-peristiwa dan kaitannya dalam
suatu kaidah sosial yang umum.
Muqaddimah bukanlah
kajian sederhana bagi ilmu kemasyarakatan, tetapi suatu percobaan yang
berhasil dalam memperbaharui ilmu sosial. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun
mengajak menjadikan ilmu sosial sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Hal
ini yang membuat Prof. Sati Hasri berpendapat bahwa Ibnu Khaldun telah
berbuat yang sedemikian jauh sebelum August Comte, lebih dari 460 tahun.
Keunggulan Muqaddimah Ibnu Khaldun dapat ditemukan
dalam beberapa hal, antara lain adalah pada falsafah sejarah. Penemuan
ini telah memberi kita pengertian tentang pemahaman yang baru tentang
sejarah, yaitu bahwa sejarah itu adalah ilmu dan memiliki filsafat.
Sejarah bukanlah semata-mata merupakan peristiwa-peristiwa
sejarah yang terkait dengan determinisme kealam dan bahwa fenomena
sejarah adalah kejadian-kejadian dalam negara.
Metodologi
sejarah Ibnu Khaldun melihat bahwa kriteria logika tidak sejalan dengan
watak benda-benda empirik, oleh karena epistemologinya adalah
observasi. Prinsip ini merangsang para sejarawan untuk mengorientasikan
pemikirannya kepada ekspriment dan tidak menganggap cukup ekpsriment
yang sifatnya individual, tetapi hendaknya mengambil sejumlah ekperimen,
dialah yang pertama berkata sesuai dengan metodologi sejarah, adanya
hubungan antara sejarah dengan ekonomi. Dia berpendapat bahwa faktor
utama dalam revolusi dan perubahan ialah ekonomi.
Ketiga
bahwa beliaulah penggagas ilmu peradaban, atau falsafah sosial. Pokok
bahasannya ialah, kesejahteraan masyarakat manusia dan kesejahteraan
sosial. Ibnu Khaldun memandang ilmu peradaban perdefenisi, ilmu baru
luar biasa dan banyak faedahnya.
Dia
jugalah yang pertama yang mengaitkan antara evolusi masyarakat manusia
dari satu sisi dan sebab yang berkaitan pada sisi lain. Dia mengetahui
dengan baik masalah-masalah penelitian dan laporannya. Laporan
penelitian menurutnya hendaklanya diperkuat oleh dalil-dalil yang
meyakinkan, ia telah mengkaji prilaku manusia dan pengaruh iklim dan
berbagai aspek pencarian nafkah beserta penejelasan pengaruhnya pada
konstitusi tubuh manusia dan intelektual manusia dan masyarakat.
Dalam
perkembangan Islam yang berkaitan dengan ilmu-ilmu kemasyarakatan maka
kita akan dapat melihat berbagai macam karya monumental yang masih tetap
berpengaruh hingga saat ini. Karya-karya tersebut bertujuan untuk
menjelaskan Islam dengan pemahaman yang lebih mendalam, lebih humanis
dan lebih universal. Sumbangan karya tersebut antara lain seperti karya
para perawi hadist seperti Bukhori dan Muslim. Metode seleksi mereka
terhadap reputasi sosial mata rantai hadist dipandang sebagai kajian
yang dilakukan dengan pendekatan sosiologis.
Kajian monumental lainnya muncul dalam bidang fikih. Abu Hanifah di Baghdad adalah orang yang sangat terkenal dengan istinbat hukum
yang bervariasi karena pengaruh kondisi sosial, masyarakat yang homogen
dan faktor lainnya. Selain beliau ada Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad.
Tentang
Abu Hanifah, dalam pendapat hukumnya, ia banyak dipengaruhi oleh
perkembangan sosial yang terjadi di kota Kufah. Kota Kufah terletak jauh
dari Madinah yang banyak merekam aktivitas Nabi dan kaum muslimin di
masa awal. Dua faktor, yakni sedikitnya hadist yang beredar di Kufah dan
juga perkembangan sosial masyaraktnya yang lebih dinamis karena
keheterogenan penduduknya, mempengaruhi cara pengambilan hukum antara
Imam Malik di Madinah dengan Abu Hanifah di Kufah.
4. Signifikansi Pendekatan Sosiologis Dalam Studi Islam
Pentingnya
pendekatan sosiologis dalam memahami agama dapat difahami karena banyak
sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya
perhatian agama terhadap masalah sosial ini, selanjutnya mendorong kaum
agama memahami ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.
Jalaluddin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang
dalam hal ini adalah Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan
lima alasan sebagai berikut:
- Dalam Alquran atau Hadist, proporsi terbesar kedua sember hukum Islam tersebut berkenaan dengan urusan mua’amalah. Menurut Ayatullah Khomeini perbandingan antara ayat ibadah dengan ayat kehidupan sosial adalah 1:100.
- Bahwa ditekankannya masalah mu’amalah atau sosial dalam masalah Islam adalah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan mu’amalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan.
- Bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan, karena itu shalat yang dilakukan berjama’ah adalah lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan sendirian.
- Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah tidak dilakukan dengan sempurna, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
- Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemaysarakatan mendapat amalan lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Berdasarkan
pemahaman kelima alasan diatas, maka melalui pendekatan sosiologis,
agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri
diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya dijumpai
ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya,
sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa dan
sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu hanya
baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial
pada ajaran agama itu diturukan.
5. Agama Sebagai Fenomena Sosiologi
Penjelasan
yang bagaimanapun tentang agama, tidak akan pernah tuntas tanpa
menyertakan aspek sosiologisnya. Agama yang menyakut kepercayaan serta
berbagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah sosial dan sampai
saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia di mana
kita memiliki catatan, termasuk yang biasa diketengahkan dan ditafsirkan
oleh ahli arkeologi.
Dalam
masyarakat yang sudah mapan agama merupakan salah satu struktur
institusional penting yang melengkapi kesluruhan sistem sosial, akan
tetapi masalah agama berbeda dengan masalah hukum, yang lazim menyangkut
alokasi serta pengendalian kekuasaan. Berbeda dengan lembaga ekonomi
yang berkaitan dengan kerja, produksi dan pertukaran dan juga berbeda
dengan lembaga keluarga yang mengatur serta memolakan hubungan antar
jenis kelamin, agar generasi yang diantaranya berkaitan dengan pertalian
keturunan serta kekerabatan.
Thomas
F. Odea mengatakan “masalah inti dari agama tampaknya menyangkut
sesuatu yang masih kabur serta tidak dapat diraba, yang realitas
empirisnya sama sekali belum jelas, ia menyangkut dunia luar. Hubungan
manusia dan sikapnya terhadao dunia luar itu dan dengan apa yang
dianggap manusia sebagai implikasi praktis dari dunia luar tersebut
terhadap kehidupan manusia”.
Perbandingan
aktivitas agama dengan aktivitas lain, atau perbandingan lembaga
keagamaan dengan lembaga sosial lain, menujukkan bahwa agama dalam
pautannya dengan masalah yang tidak dapat diraba tersebut merupakan
sesuatu yang tidak penting, sesuatu yang sepele dibandingkan dengan
masalah pokok manusia.
Namun
kenyataan menunjuk lain, sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut
hal yang penting tertentu, menyangkut masalah aspek kehidupan manusia,
yang dapat transedensinya mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting
dan menonjol bagi manusia. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa
lembaga-lembaga keagamaan merupakan bentuk assosiasi manusia yang paling
mungkin untuk terus bertahan.
Disamping
itu, agama telah diceritakan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang
paling sublim, sebagai sejumlah sumber moralitas, sumber tatanan
masyarakat dan perdamaian batin individu sebagai sesutau memuliakan dan
membuat manusia beradab. Tetapi agama juga dituduh sebagai penghambat
kemajuan manusia dan mempertinggi fanatisme dan mempertinggi toleran,
pengacuhan, pengabaian, takhyul dan kesia-siaan.
Catatan
sejarah yang ada menunjuk agama sebagai salah penghambat tatanan sosial
yang telah mapan. Tetapi agama juga memperlihatkan kemampuannya
melahirkan kecenderungan yang sangat revolusioner, seperti peristiwa
pemberontakan petani, pada abad ke-16 di Jerman. Emile Durkheim seorang
pelopor sosiologi agama di Prancis mengatakan bahwa agama merupakan
sumber semua kebudayaan yang sangat tinggi. Sedangkan Marx mengatakan
bahwa agama adalah candu bagi manusia.
6. Karya Utama dalam Studi Islam dalam Pendekatan Sosiologis
Dalam
kajian pendekatan sosiologi dalam studi Islam, banyak para penulis baik
penulis dari barat maupun penulis muslim itu sendiri, yang telah
menghasilkan karyanya tentang sosiologi yang ada hubungannya dalam
memahami agama. Diantaranya adalah :
1. Clifford Geertz . Salah Satu Karyanya The religion of Java, Religion as a cultural system.
2. Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni al-Khawarizmi. Karyanya berjudul Tarikh al-Hindi.
3. Ali Syari’ati telah menulis beberapa buku, diantaranya : Marxisme and other western Fallacies.
4. Ibnu Batutah, adapun karyanya yang berjudul Tuhfah al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa Ajaib al-Asfar. Dll.
5. Ibnu Khaldun, Karya Besarnya Al-Muqaddimah.
6. Koentjaraningrat
diantara hasil karyanya; masyarakat desa di Indonesia masa ini,
beberapa pokok antropologi sosial dan lain-lain.
7. August
Comte (1798-1857), seorang berkebangsaan Perancis yang merupakan bapak
sosiologi yang pertama kali memberi nama pada ilmu tersebut yaitu dari
kata-kata socius dan logos. Hasil karyanya adalah; The scienstific labors necessary for the reorganization of society.
KESIMPULAN
Sosiologi
merupakan ilmu yang tergolong masih muda walaupun telah mengalami
perkembangan cukup lama, yaitu sejak manusia mengenal kebudayaan dan
peradaban. Dalam kehidupannya, manusia telah
banyak menaruh perhatian dan minat terhadap sosiologi. Suatu keadaan
yang terjadi dalam masyarakat seperti, kejahatan perang, penguasaan
golongan yang satu terhadap golongan lainnya, kepercayaan dan
sebagainya. Melalui perhatian tersebut lalu muncul teori-teori yang
berkenaan dengan kemasyarakatan yang kemudian teori-teori tersebut
digunakan utuk mengkaji agama.
Beberapa
objek pendekatan sosiologi yang digunakan oleh para sosiolog ternyata
menghasilkan cara unntuk memahami agama dengan mudah. Selain itu memang
menurut beberapa sosiolog dan ahli metodelogi studi-studi ke-Islaman
bahwa agama Islam itu sendiri sangat mementingkan peranan aspek sosial
dalam kehidupan beragama.
Pendekatan
sosiologis dalam kajian-kajian aspek agama Islam sebenarnya bukanlah
sebuah tradisi yang benar-benar baru. Banyak kalangan mengakui bahwa
pendekatan ini telah lama digunakan dalam tradisi intelektual Islam,
seperti penelitian para periwayat hadist yang dilakukan oleh imam-imam
Hadist, akan tetapi Ibn Khaldunlah yang kemudian memakai pendekatan ini
dengan metode yang lebih sistematis.
Pendekatan
Sosiologi mempunyai peluang yang sangat besar untuk berkembang dalam
lingkup studi Islam. Dengan begitu kontribusinya kemudian dalam tradisi
intelektual Islam tentu saja akan sangat besar.
sumber: http://fadlan-network.blogspot.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar